Orek-orekan Dwi Pramono

Home » Posts tagged 'bancakan'

Tag Archives: bancakan

Archives

Ajaran Bapak Ibu: “Sing rukun karo sedulur”

Ditulis oleh : Suparto (3.3.0.0)
Diedit dan dilengkapi oleh : Dwi Pramono (3.8.2.0.)

.
Selaku anak (kecil) kami anak-anak sok nakal. Apabila Bapak sampai marah, kami anak laki-laki diselenthik oleh Bapak, tapi Ibu nyethot (mencubit), dan itu lebih sakit. Rasanya saya dan Tjoek tidak pernah berkelahi secara fisik; paling-paling marahan dan teriak-teriak. Akan tetapi pada suatu hari, agaknya karena sudah keterlaluan, saya dan Tjoek pernah disetrap; tengah hari bolong berdiri berhadapan terpisah oleh kawat jemuran, disuruh memperhatikan iring-iringan semut yang berduyun-duyun melintasi kawat tadi. Semut saja bisa rukun, rapi, berdisiplin, toleran, dan mau mengalah, kok kami bertengkar melulu.

.

Mengajar kerukunan melalui “bancakan”

Tiap hari weton anggota keluarga diperingati dengan tumpeng kecil dengan nasi kuluban pada makan siang, lengkap dengan teri, telur rebus dan rempeyek. Biasanya Ibu yang memanjatkan doa, “Mule metri sedulure tuwo anom ….. (nama yang diperingati disebut) kang lahir bareng sedina. Dimule metri disuwun pandongane slamet, ilanga larane karia warase, llanga bodhone karia pintere, ilanga kesede, karia sregepe, kekeda rejekine, ambeneri dina …. (nama hari pasaran/wetonnya).”

Hari weton manusia berulang 35 hari sekali, dan karena Bapak Ibu mempunyai anak 14 orang, ditambah Bapak Ibu sendiri menjadi 16 orang, dapat dikatakan tiap 2-3 hari sekali, bancakan. Manfaat bancakan ini banyak dan tidak mengwangi keimanan kita kepada Allah swt.

Dimule artinya dihormati, dimuliakan dengan kenduri, (ke)metri artinya dipelihara baik-baik. Yang dimaksudkan sedulur tuwa anom sebenarnya kakang kawah (ketuban) dan adhi ari-ari, yang dulu lahir bersama klta.
.

Bersilaturahmi

Salah satu kegemaran Bapak dan Ibu, baik sebelum maupun setelah pensiun adalah mengunjungi sanak saudara dan bersilaturahmi. Selain mempererat tali persaudaraan, dengan melakukan perjalanan kami pun bertambah pengetahuan dan pengalaman. Kebetulan tugas Bapak juga berpindah-pindah.

Pernah kami diajak ke Kebun Raya Bogor, bersama-sama ke pantai Tuban, ke Madiun, Salatiga, dll. Setelah kami masing-masing berkeluarga dan berpisah tempat karena pekerjaan masing-masing, Bapak selalu menganjurkan agar kami saling berkunjung, agar anakanak saling mengenal dengan saudara-saudaranya. Anak-anak pun seringkali kami ajak ke rumah Eyangnya di Sala pada saat-saat liburan. Paling meriah adalah saat-saat lebaran, karena para putra wayah hampir semuanya berkumpul di Gondowijayan. Ibu/Eyang Putri tidak mau kalah dengan para cucunya, ikut membunyikan “mercon bantingan” (petasan yang meletus bila dibanting).

Saling berkunjung dan bersilaturahmi ini ternyata merupakan didikan Bapak Ibu yang sangat kami rasakan manfaatnya hingga kini. Bahkan setelah Bapak Ibu wafat, keakraban persaudaraan putra wayah Bapak Ibu tercermin pada terbentuknya Paguyuban Trah Kartoamijayan dengan segala aktivitasnya.